Blero itu terjadi di ranah visual. Bila di dalam khasanah musik jawa, terdapat nada slendro, bila berada di dalam cara berbicara jawa, disebut slenco. Ia adalah sesuatu yang dianggap tidak biasa, sumbang, wagu, bahkan aneh. Bagi Siti Adiyati, sesuatu yang dirasa dan dilihat aneh, wagu, blero, ini adalah hal yang memunculkan rasa dan makna yang membisikkan berbagai hal mendasar yang menceritakan realita tentang dunia yang kompleks serta gegap gempita ini. Sesuatu itulah yang mendorong lahirnya berbagai hal berkesungguhan dan berkesadaran mendalam yang dipersembahkan di dalam pagelaran seni rupa ini.
Satu di antara banyak acuan dalam berseni adalah hal yang disebut irama. Ia menjadi penyeimbang dalam menakar estetika. Di dalam ruang estetika, irama dikonstruksi oleh arus atau frekuensi, di mana di dalamnya selalu terjadi pergeseran, percampuran, maupun gesekan yang menimbulkan resonansi – pantulan getaran atau gelombang dari suara itu. Di dalam ranah visual gesekan warna tersebut adalah percikan warna. Pergesekan, pergeseran, percikan itu pun terjadi dalam kehidupan sehari-hari dalam rupa konflik, beda pendapat, tidak sinkron, dan lainnya. Pendek kata, muncullah berbagai pendapat atau pandangan yang beragam. Keberagaman sudut pandang di dalam dunia yang semakin melar, sekaligus menciut, dan kompleks ini membutuhkan adanya irama yang mengartikulasi frekuensi yang bergesekan sekaligus mendorong pemahaman apa pun secara positif, termasuk dalam menanggapi hal-hal yang tidak biasa. Irama yang tidak biasa ini menjadi landasan dalam memosisikan berbagai hal untuk tidak dianggap sebagai salah atau musuh.
Pagelaran Seni Rupa Siti Adiyati bertajuk BLERO ini merupakan sebuah konstruksi ruang yang memungkinkan manusia untuk kembali menelusuri pikiran dengan leluasa dan manusiawi. Di sini kita dapat menggapai Seni Blero, seni yang tidak dapat diabaikan karena: hal-hal yang tidak biasa, wagu, atau sumbang itu, memang ada di sekitar kita, hadir sebagai alat bantu untuk memahami dunia.