Siti Adiyati

Siti Adiyati, akrab disapa sebagai Ibu Atik, lahir di Yogyakarta pada 2 Oktober 1951. Sejak masa kanak-kanak, beliau mendapatkan pendidikan seni tari klasik Keraton Yogyakarta. Pendidikan formal seni lukisnya ditempuh di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) dan kemudian di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Selama di ASRI, Siti Adiyati menjadi bagian dari oposisi kampus yang menentang kurikulum seni yang dianggap terbatas. Bersama rekan-rekannya seperti Hardi, Bonyong Munni Ardhie, Nanik Mirna, dan FX Harsono, beliau mendirikan kelompok seperti Kelompok Lima dan Pelukis Lima yang aktif mengadakan pameran dan diskusi untuk memperkenalkan ide-ide seni kontemporer di luar kurikulum akademi.

Pada tahun 1974, Siti Adiyati terlibat dalam Peristiwa Desember Hitam, sebuah gerakan protes terhadap pembatasan seni di Indonesia, yang menyebabkan beliau terkena skorsing dari ASRI. Namun, hal ini tidak menghentikan kiprahnya di dunia seni. Beliau menjadi salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) yang aktif antara tahun 1975 hingga 1979, sebuah gerakan yang mendorong pemisahan seni Indonesia dari birokrasi institusional dan memperkenalkan pendekatan seni yang lebih bebas dan eksperimental.

Selain sebagai seniman, Siti Adiyati juga dikenal sebagai pendidik dan penulis. Beliau rutin menulis untuk koran, majalah, dan jurnal seni rupa di Indonesia, serta telah menerbitkan beberapa buku. Salah satu kontribusi pentingnya adalah menemukan kembali koleksi hasil pertukaran Jakarta-Paris 1959 setelah perjalanannya ke Jepang dan Prancis. Beliau kemudian menginisiasi pendataan ulang, pengarsipan, konservasi, dan pameran koleksi tersebut kepada publik pada tahun 1992.

Atas dedikasi dan kontribusinya di bidang seni, Siti Adiyati menerima berbagai penghargaan, antara lain:

  • Penghargaan Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari pemerintah Prancis pada tahun 1994.

  • Friend of the Arts Award dari National Arts Council Singapore pada tahun 2022.

  • Penghargaan Lifetime Achievement Award dari Yayasan Biennale Yogyakarta pada tahun 2023. 

Pada tahun 2025, Siti Adiyati merencanakan dua pameran besar:

  1. Pameran Immersive di Galeri Labyrinth Nuanu, Bali: Labyrinth adalah pusat seni yang menggabungkan teknologi dan inovasi, menawarkan pengalaman seni yang mendalam melalui instalasi dan pertunjukan.

  2. Pagelaran Seni Art Blero: Domino dan Kekuasaan Alam di Pendapa Adyaksa, Jogja National Museum, Yogyakarta: Detail mengenai pagelaran ini masih dalam tahap perencanaan dan akan diumumkan lebih lanjut.

Melalui karya dan dedikasinya, Siti Adiyati terus memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia dan internasional.